Cklek.
Kubuka jendela.
Panas. Silau. Terik matahari sungguh membuat darahku mendidih. Aku terhenyak. Hari ini, ya, hari ini aku sudah kembali. Kembali ke pemandangan indah depan kamar yang belum cukup membuatku bosan. Kembali ke kasur mungilku yang hangat. Kembali ke facebook. Kembali kepada para pasukanku di Heroes IV Might and Magic, siap bertempur. Kembali menulis.
9 bulan aku menghilang dari peredaran, dan yang akan anda saksikan di bawah ini adalah alasannya.
Mari kita memulainya dengan hal-hal yang kecil, seperti fyp (sudah sengaja kutulis dengan huruf kecil), atau ‘skripsi’, kalau di Indonesia; plus berjibun komitmen dari kerjaan part-time, bisnis kaos kecil-kecilan, organisasi, band, gereja, pacaran, project-project sekolah yang lain dan sebagainya, dan seterusnya. Alhasil, ini adalah pertanyaan pertama yang selalu muncul ketika aku bertemu seorang teman dekat: “Lu kok bisa masih hidup sih?” Nope, it was not funny. Tetapi mungkin baik dilihat dari tampak luar ataupun dalam, sepertinya aku memang bisa dibilang mayat hidup.
Bicara soal mengatur waktu, entah aku seorang mahasiswa A+ atau F. Yang jelas, setelah mengarungi kesibukan selama 4 tahun, aku berhasil merumuskan teori ini: Yang namanya waktu itu tidak akan pernah bisa diatur. Dalam sehari, manusia punya waktu 24 jam. Pas. Tidak lebih. Tidak kurang. Dan kenyataannya, manusia tidak akan pernah bisa menambah, mengurangi, mengali atau membagi waktu. Bahkan untuk mengatur waktu saja butuh waktu. No? Karena itu, yang perlu ditaklukkan manusia itu bukan waktu, tapi KOMITMEN, atau sebut saja commitment management.
.
Dalam hidup, manusia punya kebebasan penuh buat berkomitmen. Dan setiap komitmen akan selalu diikuti konsekuensi yang berupa waktu. Gampangnya, jika mata uang States adalah US$, maka mata uang komitmen adalah waktu. Misalnya, komitmen A bernilai 40 jam/minggu, atau komitmen B bernilai 3 jam/minggu. Tiap nilai komitmen berbeda tergantung dari kuantitas kita memenuhinya.
Kesalahan yang sering terjadi, manusia biasanya cuma menghitung komitmen berdasarkan hal-hal besar seperti berorganisasi, pacaran atau tugas sekolah. Bagaimana dengan hal-hal kecil mulai dari makan, minum, mandi, tidur, gunting kuku, membersihkan kuping, gunting rambut, mengecek kotak surat, menyapu, mengepel, mencuci, menjemur, olahraga, berdoa, pergi dengan teman, cek e-mail, menelpon orang tua, dan lainnya? Yang aku tulis di atas, semuanya sama. Sama-sama disebut KOMITMEN.
Ya, ini memang bukan hal yang baru. Bukan juga petuah. Atau dongeng sebelum tidur.
Orang boleh menyebutnya mengatur waktu, mengatur komitmen, mengatur diri, aktivitas, whatever. Selama kita tau konsep dasar soal komitmen ini, paling tidak kita aman dari yang namanya frustasi, stres dan rumah sakit jiwa. Nenek bilang, jangan selalu menyalahkan waktu ataupun bilang waktu kita tidak cukup untuk melakukan ini dan itu. Kita manusia sering tidak sadar kalau ‘bagaimana kita melakukan suatu hal’ itu juga memegang peran penting dalam aktivitas kita sehari-hari. Tidak percaya? Gampangnya,
Pertanyaan yang benar: “Berapa lama kamu tidur?” atau “Seberapa susah kamu bangun?”
plus
Pertanyaan yang benar: “Berapa jauh jarak rumahmu ke kampus?” atau “Seberapa cepat kamu berjalan?”
.
Melihat komitmen dan waktu dari perspektif yang berbeda memang bukan hal yang mudah. Aku menimba ilmu yang sama selama lebih dari dua puluh tahun. Sampai sekarang pun, aku belum bisa menjadi mahaguru. Kutengok kembali satu tahun terakhirku di kampus. Sebut saja pengalaman ini seperti ujian. Pengalaman bergelut dengan kakek nenek bapak ibunya kesibukan. Pengalaman edan. Hahaha. Tapi akhirnya aku berhasil menyelesaikan ujian. Walaupun dengan keringat banjir, aku tidak menyesal.
After all, it was my final year. I’ve made it big. I’ve made it remarkable. I’ve made it forever.
Dan kuambil toa yang suaranya lebih kencang dari vuvuzela manapun yang ada di bumi. Kuproklamirkan dengan segenap jiwa dan raga: “AKU TELAH SUKSES MENJADI ORANG GILA SETAHUN.”
Bersamaan dengan itu,
TING-TONG.
Bel berbunyi. Karena itu pelajaran pak guru juga selesai sampai di sini.
Matur nuwun,
Pujangga Kertas
Apa Kata Mereka